Benteng Asa Kota terlalu lama menyendiri. Terlalu lama pula
dibiarkan menyepi. Bukti sejarah perjuangan rakyat Bima ini tak pernah
disentuh. Kini, benteng pertahanan melawan penjajahan Belanda itu mulai didandan.
Dipoles. Dipermak, dan sudah terlihat sedikit cantik.
![]() |
Benteng Asa Kota |
Sajian di punggung Benteng Asa Kota masih alami. Semak belukar seakan
memberikan kesan alami. Ditambah lagi hamparan tanah kering yang ditumbuhi pohon liar.
Begitu juga dengan tawaran pantainya. Lautnya masih biru.
Pasirnya masih aduhai. Sayangnya,
sepanjang bibir pantai masih diselimuti sampah hempasan gelombang.
![]() |
Pintu Masuk Benteng Asa Kota |
Benteng Asa Kota ini sudah lama dikenal. Tapi, baru-baru ini
didandan. Benteng Asa Kota terletak di Dusun Lia, Desa Punti, Kecamatan
Soromandi. Benteng ini merupakan bekas Benteng
pertahanan Belanda untuk Bima. Ditemukan sekitar tahun 1908 (bersamaan dengan
meletusnya Gunung Tambora).
Benteng Asa Kota ini terdiri dari batu bersusun.
Bau itu dulunya diambil dari berbagai tempat di daerah Bima. Itu dimaksudkan
untuk memberikan kesan kuat dan kokoh serta menandakan benteng ini dapat
melindungi masyarakat Mbojo. Kini, susunan batu masih ada. Menjadi saksi bisu
perlawanan rakyat Bima kala itu.
Barang peninggalan sejarah yang masih tersisa
adalah Meriam Kuno, yang disebut La Nggali Nggoma. La Nggali artinya Mahal, dan
Nggoma artinya Kudis. Meriam ini merupakan meriam induk. Dipasang di sebelah
Barat dan menghadap utara. Yakni mengarah ke AsaKota atau Pintu Masuk Kota di
teluk Bima. Tapi, meriam itu sudah tak terlihat lagi. Hanya ada bekas potongan
meriam saja.
Selain meriam kuno, pengunjung bisa melihat bekas
benteng pertahanan berupa susunan batu-batu. Susunan batu itu terlihat
sepanjang tebing pantai. Konon, Ompu Daga alias Ompu Nggambi adalah penguasa
wilayah Benteng Asa Kota pada masa itu..
Benteng ini dibangun pada sekitar tahun 1667 di
sebuah pulau kecil Nisa Soma. Tepat di pintu
masuk teluk Bima yang diberinama Benteng Asa Kota. Asa dalam
bahasa Bima berarti mulut dan Kota berarti
kota. Jadi Asa kota adalah Mulut Kota yang menjadi penghubung Bima dengan
negeri-negeri lainnya.
Sementara, untuk tiba di Benteng Asa Kota, tenaga
ekstra harus disiapkan. Jalannya belum begitu mulus. Belum diaspal. Jalannya
juga belum disentuh perbaikan. Warga setempat baru membuka jalan setapak. Tapi
tenang. Kendaraan roda dua tetap bisa lewat. Hanya saja, harus hati-hati. Karena
jalannya terjal. Belum lagi kerikil. Batu berukuran besar juga bakal menjadi
penghalang laju motor. ”Motor sudah bisa lewat, kebetulan kami sudah buka jalan
setapak,” kata Irman, warga Dusun Lia.
Asa Kota dengan jalan raya tidak terlalu jauh. Dari jalan raya,
Asa Kota sudah bisa dinikmati. Agar lebih menggairahkan, sebaiknya turun dan
injak langsung tanah timbunan yang dijadikan benteng pertahanan Bima dari
serangan penjajah. ”Supaya pengunjung bisa menikmati langsung, makanya kami
buatkan jalan,” aku dia.
Sejak jalan dibuka, pengunjung bedatangan. Lebaran tahun lalu, Asa
Kota menjadi incaran. Lalu lalang kendaraan bermotor menghiasi Jalan Dusun Lia.
Orang-orang berdatangan untuk melihat dari dekat bukti sejarah.
Ada juga yang datang piknik bersama keluarganya. Ada pula yang datang berselfi
ria. ”Sudah ramai,” aku dia.
![]() |
Pemandangan di Benteng Asa Kota |
Ia mengaku, Benteng Asa Kota bisa menjadi magnet wisata di Bima.
Itu jika dikelola dengan maksimal. Sejauh ini, Asa Kota baru didandan dengan membuat
papan nama Benteng Asa Kota di pintu masuk. Selain itu, ada dua lesehan yang
dibangun di bukit Benteng Asa Kota. ”Meski belum maksimal, tapi sudah mampu
memikat pengunjung,” katanya.
Selama ini, kata dia, Benteng Asa Kota tak pernah dikelola dan
ditata dengan baik. Padahal, bukti sejarah ini bisa dijadikan lahan untuk
mengeruk Pendapatan Asli Daerah (PAD). ”Kami
juga tidak tahu, kenapa baru sekarang dilirik,” tandasnya. Sementara, penjaga benteng Asakota Kamaludin mengaku, baru-baru
ini benteng Asa Kota ramai dikunjungi. Sebelumnya, hanya beberapa orang saja
yang datang. Itu pun tidak terlalu ramai. ”Kalau dulu sepi,” aku dia saat
berbincang dengan penulis di Benteng Asa Kota.
Ia mengaku, selama ini benteng Asa Kota tak pernah dikelola dengan
baik. Tapi, tahun lalu pemerintah mulai menatanya. Pemerintah telah membuat papan
di pintu masuk. Dua buah lesehan tempat duduk di atas bukit benteng Asa Kota. ”Lesehan
ada dua. Di bagian timur dan barat,” sebutnya.Selain lesehan itu, pemerintah juga membuat uma jaga (berugak) di Pelabuhan Dusun Lia. Ada empat uma jaga yang disiapkan bagi pengunjung.
Di situ, pengunjung bisa menikmati dari jauh benteng Asa Kota. Di situ juga
pengunjung dapat berselancar pandangan, sambil menghirup manisnya aroma udara
laut.
Kamaludin menjelaskan, uma
jaga itu sengaja ditempatkan di dekat pelabuhan. Menurut dia, pengunjung
bisa memilih untuk menikmati Benteng Asa Kota. Bisa dari jauh, bisa juga dari
dekat. ”Untuk itulah, uma jaga
ditempatkan di pelabuhan,” terang dia.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan soal potensi yang bisa dikeruk dari
bukti sejarah ini. Ia mengaku,
seandainya pemerintah menarik retribusi, betapa besar pemasukan bagi daerah.
Tapi, pemerintah belum memberlakukan pungutan bagi pengunjung. ”Saya selaku
penjaga tidak bisa berani pasang tarif, karena belum ada dasar aturannya,”
tegas pria asal Dusun Lia ini.
Saat ini, pengutan itu diambil alih warga setempat. Mereka juga
tidak memasang tarif terlalu mahal bagi pengunjung. Mereka hanya menarik biaya
parkir dan pengamanan motor. ”Biar teratur, harusnya ada aturan untuk menarik
retribusi,” tandas dia. (jelo)