Perkara penipuan dan penggelapan dengan terdakwa, Ibrahim (pakai kopiah) saat menjalani sidang. Tampak saksi korban, Alotaibi Hamad Mofarah (baju hitam) didampingi penerjemah di PN Mataram. |
MATARAM-Destinasi wisata di Lombok membuat decak kagum turis dunia. Tawaran alam yang indah menggoda wisatawan dari berbagai negara.
Pantainya menawan, air terjunnya menggoda, dan budayanya ramah. Tak ayal, investor pun kepincut dengan sensasi alam nan indah di Lombok. Salah satu investor yang tergiur berinvestasi di Lombok, Alotaibi Hamad Mofarah. Pria asal Timur Tengah itu ingin membangun hotel syariah di kawasan Senggigi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Awalnya, dia sangat tertarik dengan pesona Senggigi. Karena sebelum berselancar di Pulau Seribu Mesjid, dia mendapatkan kabar jika Senggigi masuk dalam barisan primadona wisata dunia.
Pria Arab Saudi pun datang ke Lombok bermodalkan informasi yang dicari di internet pada tahun 2011. Setiba di Lombok, dia langsung bermalam di Senggigi sambil menikmati suasana pantai. Juga mencari peluang untuk berinvestasi.
Dia pun mencari rekanan, karena dirinya tidak diperbolehkan aturan di Indonesia memiliki tanah atas nama pribadi. Kala itu, Hamad singgah di mesjid Senggigi dan bertemu dengan Mustajib. Dia menyampaikan maksud dan tujuan untuk membeli tanah dan membangun hotel.
Keinginan itu diteruskan Mustajib kepada adiknya, Ibrahim. Kemudian, Hamad menceritakan kepada Ibrahim keinginanya untuk membangun hotel. ”Saya tidak bisa mengerjakan sendiri, lalu Ibrahim mengaku bisa mengurus semuanya,” cerita Hamad.
Sekitar satu bulan berjalan, Hamad kembali menghubungi Ibrahim via ponsel. Dia menanyakan lokasi tanah yang cocok untuk mendirikan hotel syariah. Saat itu, Ibrahim memastikan sudah menemukan lokasi tanah yang bagus dan startegis di Selong Belanak.
Ibrahim meminta DP pembayaran tanah Rp 89.250.000, dan atas permintaan itu dia transfer uang melalui rekening BNI Ibrahim. Saat itu, Hamad sedang berada di tanah kelahirannya.
Sayangnya, ibrahim dituding tidak menggunakan uang itu untuk membeli tanah. Dia malah menghabiskan untuk kepentingan pribadinya sekitar Rp 52.400.000.
Disamping dana tersebut, Hamad juga menstransfer uang ke Ibrahim melalui rekening yang sama. Ternyata dana itu tidak pula digunakan sesuai peruntukan atau dimark up. ”Saya kirim lagi uang, tapi dimark-up,” bebernya.
Dana itu, kata Hamad merincikan, untuk biaya pembuatan akta PT Reem Indonesia, Ibrahim melaporkan Rp 30 juta. Padahal, ongkosnya hanya Rp 25 juta. Pembangunan elektrik PLN hanya Rp 17.476.000 tapi diminta Rp 30 juta. Begitu pula untuk instalasi listrik yang seharusnya Rp 2.500.000 namun dilaporkan Rp 5.637.000. Untuk membeli meubler dilaporkan Rp 37.569.750. Padahal, biayanya Rp 25 juta. ”Ada mark up pembelian material pembangunan hotel juga. Saya kirim Rp 650 juta, namun yang digunakan Rp 447.717.500,” sebutnya.
Untuk biaya pembuatan IMB, Ibrahim meminta Rp 27 juta. Padahal, biayanya sebesar Rp 2 juta. Sementara, dana sebesar Rp 451 juta yang harusnya masuk ke renening perusahaan, namun dialihkan ke rekening priadinya. ”Ada penggunaan semen yang tidak sesuai. Ibrahim melaporkan penggunaan semen 670 sak. Dia ambil dipenyedia material sebanyak 1.221 sak. Akibat perbuatan Ibrahim, saya mengalami kerugian Rp 207.578.401,” ungkapnya.
Dia menambahkan, pembangunan hotel itu belum rampung. Padahal, uang yang dikeluarkan Rp 2 miliar lebih. Pembangunan baru sebatas lantai saja. Sementara, dindingnya belum dikerjakan sama sekali. ”Baru lantai saja. ada tiga lantai hotel itu. Yang lain belum dikerjakan,” ujarnya.
Penipuan itu pun berlanjut ke ranah hukum. Kini, perkara tersebut sudah sampai ke Mahkamah Agung. Jaksa melakukan kasasi atas putusan yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi Mataram. Ibrahim tetap dihukum 10 bulan penjara dengan status tahanan kota, sesuai putusan Pengadilan Negeri Mataram. (anasaramba)
Pantainya menawan, air terjunnya menggoda, dan budayanya ramah. Tak ayal, investor pun kepincut dengan sensasi alam nan indah di Lombok. Salah satu investor yang tergiur berinvestasi di Lombok, Alotaibi Hamad Mofarah. Pria asal Timur Tengah itu ingin membangun hotel syariah di kawasan Senggigi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Awalnya, dia sangat tertarik dengan pesona Senggigi. Karena sebelum berselancar di Pulau Seribu Mesjid, dia mendapatkan kabar jika Senggigi masuk dalam barisan primadona wisata dunia.
Pria Arab Saudi pun datang ke Lombok bermodalkan informasi yang dicari di internet pada tahun 2011. Setiba di Lombok, dia langsung bermalam di Senggigi sambil menikmati suasana pantai. Juga mencari peluang untuk berinvestasi.
Dia pun mencari rekanan, karena dirinya tidak diperbolehkan aturan di Indonesia memiliki tanah atas nama pribadi. Kala itu, Hamad singgah di mesjid Senggigi dan bertemu dengan Mustajib. Dia menyampaikan maksud dan tujuan untuk membeli tanah dan membangun hotel.
Keinginan itu diteruskan Mustajib kepada adiknya, Ibrahim. Kemudian, Hamad menceritakan kepada Ibrahim keinginanya untuk membangun hotel. ”Saya tidak bisa mengerjakan sendiri, lalu Ibrahim mengaku bisa mengurus semuanya,” cerita Hamad.
Sekitar satu bulan berjalan, Hamad kembali menghubungi Ibrahim via ponsel. Dia menanyakan lokasi tanah yang cocok untuk mendirikan hotel syariah. Saat itu, Ibrahim memastikan sudah menemukan lokasi tanah yang bagus dan startegis di Selong Belanak.
Ibrahim meminta DP pembayaran tanah Rp 89.250.000, dan atas permintaan itu dia transfer uang melalui rekening BNI Ibrahim. Saat itu, Hamad sedang berada di tanah kelahirannya.
Sayangnya, ibrahim dituding tidak menggunakan uang itu untuk membeli tanah. Dia malah menghabiskan untuk kepentingan pribadinya sekitar Rp 52.400.000.
Disamping dana tersebut, Hamad juga menstransfer uang ke Ibrahim melalui rekening yang sama. Ternyata dana itu tidak pula digunakan sesuai peruntukan atau dimark up. ”Saya kirim lagi uang, tapi dimark-up,” bebernya.
Dana itu, kata Hamad merincikan, untuk biaya pembuatan akta PT Reem Indonesia, Ibrahim melaporkan Rp 30 juta. Padahal, ongkosnya hanya Rp 25 juta. Pembangunan elektrik PLN hanya Rp 17.476.000 tapi diminta Rp 30 juta. Begitu pula untuk instalasi listrik yang seharusnya Rp 2.500.000 namun dilaporkan Rp 5.637.000. Untuk membeli meubler dilaporkan Rp 37.569.750. Padahal, biayanya Rp 25 juta. ”Ada mark up pembelian material pembangunan hotel juga. Saya kirim Rp 650 juta, namun yang digunakan Rp 447.717.500,” sebutnya.
Untuk biaya pembuatan IMB, Ibrahim meminta Rp 27 juta. Padahal, biayanya sebesar Rp 2 juta. Sementara, dana sebesar Rp 451 juta yang harusnya masuk ke renening perusahaan, namun dialihkan ke rekening priadinya. ”Ada penggunaan semen yang tidak sesuai. Ibrahim melaporkan penggunaan semen 670 sak. Dia ambil dipenyedia material sebanyak 1.221 sak. Akibat perbuatan Ibrahim, saya mengalami kerugian Rp 207.578.401,” ungkapnya.
Dia menambahkan, pembangunan hotel itu belum rampung. Padahal, uang yang dikeluarkan Rp 2 miliar lebih. Pembangunan baru sebatas lantai saja. Sementara, dindingnya belum dikerjakan sama sekali. ”Baru lantai saja. ada tiga lantai hotel itu. Yang lain belum dikerjakan,” ujarnya.
Penipuan itu pun berlanjut ke ranah hukum. Kini, perkara tersebut sudah sampai ke Mahkamah Agung. Jaksa melakukan kasasi atas putusan yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi Mataram. Ibrahim tetap dihukum 10 bulan penjara dengan status tahanan kota, sesuai putusan Pengadilan Negeri Mataram. (anasaramba)