MATARAM-Penanganan kasus dugaan korupsi APBD ganda Kota Mataram sedang bergulir. Kasus yang dilaporkan politisi PDIP Rahmat Hidayat ini memasuki tahap pengumpulan data dan keterangan.
Kasus tersebut sempat ditunda lantaran pilkada. Kini, kasus itu dibongkar lagi dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB memanggil pejabat Pemkot Mataram yang diduga mengetahui persoalan APBD tersebut.
”Laporan APBD ganda masih jalan. Pelaksanaan pilkada ini yang membuat kami menundanya,” kata Kajati NTB Martono.
Selama pilkada berjalan, Martono mengaku tidak melakukan aktivitas pemanggil terhadap pihak terkait. Ia khawatir saat itu akan mengganggu proses pelaksanaan pilkada.
”Setelah pilkada ini kami genjot lagi,” tegasnya.
Ia memastikan kejaksaan tetap memeroses laporan dugaan korupsi APBD ini. Paskapenetapan pemenang pilkada Kota Mataram, pihaknya akan memanggil pihak-pihak yang diduga terlibat.
”Selesai penetapan pemenang, kami lanjutin. Kami akan minta keterangan pihak terkait,” jelasnya.
Martono tidak menyebutkan terlalu detail agenda lanjutan dari penyelidikan APBD yang diduga ganda. Namun, tegas dia, data dan dokumen yang disodorkan pelapor sudah dikaji dan ditelaah.
”Kalau dokumen sudah kami pelajari. Sekarang kami agendakan untuk klarifikasi pihak terkait,” beber dia.
Kasus ini sudah memasuki tahap penyelidikan. Pengumpulan keterangan dan data-data sedang berjalan. Selanjutnya, tim penyelidikan akan memanggil pejabat pemkot Mataram yang dianggap mengetahui penggunaan APBD.
”Intinya kami lidik,” tegas dia.
Martono menjelaskan, laporan belum bisa disimpulkan secara dini. Hasil penyelidikan yang akan menentukan apakah ada indikasi tindak pidana korupsi atau tidak.
”Kita lihat nanti, kalau ada dua alat bukti kita tingkatkan ke tahap selanjutnya,” ungkap dia.
Dalam menangani suatu perkara, kata dia, pihaknya harus memantapkan data-data ditingkat penyelidikan. Jika kebutuhan seperti dua alat bukti dan keterangan saksi mendukung, sambung dia, pihaknya akan menaikan ke penyidikan.
”Kami harus hati-hati dalam menangani perkara, begitu pun dengan menetapkan tersangka. Harus ada dua alat bukti dulu. Karena tersangka ini masuk dalam materi praperadilan,” tegasnya.
Kasus ini dilaporkan 23 Juli 2015. Rahmat Hidayat bersama kader PDIP menyerahkan satu koper besar berisi dokumen APBD Kota Mataram tahun 2015. Dari laporan mereka, sekitar 88,7 persen APBD sudah dipakai, tapi tidak ada pembangunan dan hanya dipakai nyumbang dan pemberian hadiah, dan itu tanpa sepengetahuan DPRD.
Disamping itu, APBD Kota Mataram ditemukan dalam dua versi. Namun dengan nomor yang sama. Dengan kata lain APBD Kota Mataram 2015 diduga ganda. Selisih belanja dari kedua APBD tersebut mencapai Rp 29 miliar lebih. Sehingga, ada indikasi penyalahgunaan anggaran.
APBD versi pertama dianggap benar karena bersifat resmi. Apalagi, APBD pertama telah dibahas dan disetujui bersama oleh Pemda dan DPRD. Bahkan, telah disampaikan pada Gubenur NTB, TGB HM Zainul Majdi. Nilai yang sudah disetujui pemda dan DPRD Rp 1,104 triliun.
Sedangkan versi kedua mencapai Rp 117 triliun. APBD ini dianggap tidak sah karena tidak melaui prosedur perundang-undangan dan anggap illegal. Terlebih lagi, tidak melaui persetujuan Gubernur. (jlo)
Kasus tersebut sempat ditunda lantaran pilkada. Kini, kasus itu dibongkar lagi dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB memanggil pejabat Pemkot Mataram yang diduga mengetahui persoalan APBD tersebut.
”Laporan APBD ganda masih jalan. Pelaksanaan pilkada ini yang membuat kami menundanya,” kata Kajati NTB Martono.
Kajati NTB Martono |
Selama pilkada berjalan, Martono mengaku tidak melakukan aktivitas pemanggil terhadap pihak terkait. Ia khawatir saat itu akan mengganggu proses pelaksanaan pilkada.
”Setelah pilkada ini kami genjot lagi,” tegasnya.
Ia memastikan kejaksaan tetap memeroses laporan dugaan korupsi APBD ini. Paskapenetapan pemenang pilkada Kota Mataram, pihaknya akan memanggil pihak-pihak yang diduga terlibat.
”Selesai penetapan pemenang, kami lanjutin. Kami akan minta keterangan pihak terkait,” jelasnya.
Martono tidak menyebutkan terlalu detail agenda lanjutan dari penyelidikan APBD yang diduga ganda. Namun, tegas dia, data dan dokumen yang disodorkan pelapor sudah dikaji dan ditelaah.
”Kalau dokumen sudah kami pelajari. Sekarang kami agendakan untuk klarifikasi pihak terkait,” beber dia.
Kasus ini sudah memasuki tahap penyelidikan. Pengumpulan keterangan dan data-data sedang berjalan. Selanjutnya, tim penyelidikan akan memanggil pejabat pemkot Mataram yang dianggap mengetahui penggunaan APBD.
”Intinya kami lidik,” tegas dia.
Martono menjelaskan, laporan belum bisa disimpulkan secara dini. Hasil penyelidikan yang akan menentukan apakah ada indikasi tindak pidana korupsi atau tidak.
”Kita lihat nanti, kalau ada dua alat bukti kita tingkatkan ke tahap selanjutnya,” ungkap dia.
Dalam menangani suatu perkara, kata dia, pihaknya harus memantapkan data-data ditingkat penyelidikan. Jika kebutuhan seperti dua alat bukti dan keterangan saksi mendukung, sambung dia, pihaknya akan menaikan ke penyidikan.
”Kami harus hati-hati dalam menangani perkara, begitu pun dengan menetapkan tersangka. Harus ada dua alat bukti dulu. Karena tersangka ini masuk dalam materi praperadilan,” tegasnya.
Kasus ini dilaporkan 23 Juli 2015. Rahmat Hidayat bersama kader PDIP menyerahkan satu koper besar berisi dokumen APBD Kota Mataram tahun 2015. Dari laporan mereka, sekitar 88,7 persen APBD sudah dipakai, tapi tidak ada pembangunan dan hanya dipakai nyumbang dan pemberian hadiah, dan itu tanpa sepengetahuan DPRD.
Disamping itu, APBD Kota Mataram ditemukan dalam dua versi. Namun dengan nomor yang sama. Dengan kata lain APBD Kota Mataram 2015 diduga ganda. Selisih belanja dari kedua APBD tersebut mencapai Rp 29 miliar lebih. Sehingga, ada indikasi penyalahgunaan anggaran.
APBD versi pertama dianggap benar karena bersifat resmi. Apalagi, APBD pertama telah dibahas dan disetujui bersama oleh Pemda dan DPRD. Bahkan, telah disampaikan pada Gubenur NTB, TGB HM Zainul Majdi. Nilai yang sudah disetujui pemda dan DPRD Rp 1,104 triliun.
Sedangkan versi kedua mencapai Rp 117 triliun. APBD ini dianggap tidak sah karena tidak melaui prosedur perundang-undangan dan anggap illegal. Terlebih lagi, tidak melaui persetujuan Gubernur. (jlo)