Oleh J. Sangazhee
Media kian bermunculan. Ada yang tampil dengan online, ada juga yang offline. Informasi begitu cepat tersebar, apalagi belakangan ini media online cukup mewabah di Indonesia.
Media online ibarat virus. Kilatan informasi yang dilukiskan dalam kanvas laman mereka dilahap para pembaca. Begitu pula dengan media elektronik dan cetak.
Keberadaan media ini sangat dibutuhkan, terutama bagi mereka yang membutuhkan informasi. Tidak heran jika media sungguh dibutuhkan dalam berdemokrasi.
Bahkan, pers sering disebut sebagai kekuatan keempat (the fourth estate)dalam struktur kenegaraan, setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Pertanyaannya, apakah yang membuat pers menjadi institusi yang ditakutkan?. Bisa jadi seperti itu. Informasi yang disadur dari narasumber dapat membentuk opini publik (public opinion).
Opini publik ini diperkenalkan seorang wartawan dan ahli politik Amerika Serikat, Walter Lippmann dalam buku Public Opinion (1922). Buku ini menjadi penggagas kajian media di AS.
Opini publik dapat ditentukan melalui pendapat mayoritas yang efektif mempengaruhi pendapat minoritas. Sekali opini publik terbentuk, akan sangat sulit dihancurkan. Pers menyatakan opininya secara aktif. Bahkan, dalam berita sekalipun, ada pesan tersirat dan opini wartawan. Walaupun tidak terang-benderang.
Para tokoh besar dunia pun mengakui kekuatan pers. Misalkan, Thomas Jefferson (1743-1826). Presiden Amerika Serikat ketiga, masa jabatan 1801-1809. Ia salah seorang founding father AS dan pencetus Deklarasi Kemerdekaan (1776).
Ia berkata "Saya memilih memiliki pers tanpa negara, daripada negara tanpa pers.". Begitulah untaian kalimat Presiden Amerika Serikat ketiga memuji keberadaan pers.
Kaisar, Diplomat dan Panglima perang Perancis, Napoleon Bonaparte (1769-1821) membuat pernyataan pula tentang pers. Kalimatnya sampai sekarang menjadi rujukan betapa kuatnya keberadaan pers.
Ini kutipan pernyataan Napoleon Bonaparte. “Senjata api dan pena adalah kekuatan-kekuatan yang paling dahsyat di dunia. Tetapi, kekuatan pena akan bertahan lebih lama dibandingkan dengan senjata api. Saya lebih takut pada sebuah pena daripada seratus meriam.”
Winston Churchill (1874-1965), Perdana Menteri Britania Raya pada Perang Dunia II menyumbangkan kalimat saktinya terkait pers. Ia berkata "Pena lebih tajam daripada pedang."
Benjamin Franklin (1706-1790). Seorang pemimpin Revolusi AS dan salah satu penandatangan Deklarasi Kemerdakaan AS. Ia juga seorang wartawan, penulis, penerbit, ilmuwan, diplomat, dan penemu. Ia berkata “Bila saja Anda memberi 26 serdadu, maka saya akan menaklukkan dunia.” Franklin menegaskan 26 serdadu itu ialah: “Huruf A sampai Z.”
Sebagian besar pernyataan para tokoh dunia ini benar adanya. Sampai sekarang eksistensi media cukup mempengaruhi suatu kebijakan karena mampu menggiring opini.
Kritik tajam lahir dari pena jurnalis. Tulisan mereka mampu meluruskan kebijakan yang dianggap tak pro rakyat. Tapi, ada pula goresan pena yang ”berselingkuh” dengan kebijakan.
Intervensi. Itulah kalimat yang terkadang mengganggu pekerja jurnalis. Misalkan, tulisannya diintervensi oknum-oknum tertentu. Bahkan, ada pula intrevensi itu datang dari perusahaan, yang meminta agar tidak terus “menggoreng” suatu peristiwa, perkara, kebijakan, atau lain-lainnya.
Intervensi yang kerap dihadapkan dengan pekerja jurnlis berupa ancaman agar tidak lagi memberitakan. Narasumber yang tidak senang dengan pemberitaan, tidak segan-segan mengumbar kalimat bernada ancaman. Akan dibunuh, akan dibuat cacat, dan ancaman lainnya.
Ancaman yang mengarah pada kekerasan fisik sudah ada buktinya. Beberapa peristiwa kelam jurnalis mewarnai demokrasi di Negara ini. Contohnya kasus pembunuhan Udin. Ia diduga dibunuh karena berita.
Apakah intervensi datang dari luar saja? Tidak juga. Ada juga intervensi yang lahir dari internal perusahaan. Serdadu media yang bekerja di lapangan kerap mendapat gelombang intervensi secara halus dari pimpinan. Meminta pemberitaan dipending. Alasannya cukup banyak. Ada yang ini dan yang itu. Akhirnya, berita pun tak jadi dimuat karena dianggap akan merugikan ini dan itu.
Intervensi semacam ini akan mengganggu kerja jurnalistik. Bahkan, akan membuat pena jadi tumpul. Pena jadi tak bertinta. Pena pun layu di tengah jalan. (*)
Media kian bermunculan. Ada yang tampil dengan online, ada juga yang offline. Informasi begitu cepat tersebar, apalagi belakangan ini media online cukup mewabah di Indonesia.
Media online ibarat virus. Kilatan informasi yang dilukiskan dalam kanvas laman mereka dilahap para pembaca. Begitu pula dengan media elektronik dan cetak.
Keberadaan media ini sangat dibutuhkan, terutama bagi mereka yang membutuhkan informasi. Tidak heran jika media sungguh dibutuhkan dalam berdemokrasi.
Bahkan, pers sering disebut sebagai kekuatan keempat (the fourth estate)dalam struktur kenegaraan, setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Pertanyaannya, apakah yang membuat pers menjadi institusi yang ditakutkan?. Bisa jadi seperti itu. Informasi yang disadur dari narasumber dapat membentuk opini publik (public opinion).
Opini publik ini diperkenalkan seorang wartawan dan ahli politik Amerika Serikat, Walter Lippmann dalam buku Public Opinion (1922). Buku ini menjadi penggagas kajian media di AS.
Opini publik dapat ditentukan melalui pendapat mayoritas yang efektif mempengaruhi pendapat minoritas. Sekali opini publik terbentuk, akan sangat sulit dihancurkan. Pers menyatakan opininya secara aktif. Bahkan, dalam berita sekalipun, ada pesan tersirat dan opini wartawan. Walaupun tidak terang-benderang.
Para tokoh besar dunia pun mengakui kekuatan pers. Misalkan, Thomas Jefferson (1743-1826). Presiden Amerika Serikat ketiga, masa jabatan 1801-1809. Ia salah seorang founding father AS dan pencetus Deklarasi Kemerdekaan (1776).
Ia berkata "Saya memilih memiliki pers tanpa negara, daripada negara tanpa pers.". Begitulah untaian kalimat Presiden Amerika Serikat ketiga memuji keberadaan pers.
Kaisar, Diplomat dan Panglima perang Perancis, Napoleon Bonaparte (1769-1821) membuat pernyataan pula tentang pers. Kalimatnya sampai sekarang menjadi rujukan betapa kuatnya keberadaan pers.
Ini kutipan pernyataan Napoleon Bonaparte. “Senjata api dan pena adalah kekuatan-kekuatan yang paling dahsyat di dunia. Tetapi, kekuatan pena akan bertahan lebih lama dibandingkan dengan senjata api. Saya lebih takut pada sebuah pena daripada seratus meriam.”
Winston Churchill (1874-1965), Perdana Menteri Britania Raya pada Perang Dunia II menyumbangkan kalimat saktinya terkait pers. Ia berkata "Pena lebih tajam daripada pedang."
Benjamin Franklin (1706-1790). Seorang pemimpin Revolusi AS dan salah satu penandatangan Deklarasi Kemerdakaan AS. Ia juga seorang wartawan, penulis, penerbit, ilmuwan, diplomat, dan penemu. Ia berkata “Bila saja Anda memberi 26 serdadu, maka saya akan menaklukkan dunia.” Franklin menegaskan 26 serdadu itu ialah: “Huruf A sampai Z.”
Sebagian besar pernyataan para tokoh dunia ini benar adanya. Sampai sekarang eksistensi media cukup mempengaruhi suatu kebijakan karena mampu menggiring opini.
Kritik tajam lahir dari pena jurnalis. Tulisan mereka mampu meluruskan kebijakan yang dianggap tak pro rakyat. Tapi, ada pula goresan pena yang ”berselingkuh” dengan kebijakan.
Intervensi. Itulah kalimat yang terkadang mengganggu pekerja jurnalis. Misalkan, tulisannya diintervensi oknum-oknum tertentu. Bahkan, ada pula intrevensi itu datang dari perusahaan, yang meminta agar tidak terus “menggoreng” suatu peristiwa, perkara, kebijakan, atau lain-lainnya.
Intervensi yang kerap dihadapkan dengan pekerja jurnlis berupa ancaman agar tidak lagi memberitakan. Narasumber yang tidak senang dengan pemberitaan, tidak segan-segan mengumbar kalimat bernada ancaman. Akan dibunuh, akan dibuat cacat, dan ancaman lainnya.
Ancaman yang mengarah pada kekerasan fisik sudah ada buktinya. Beberapa peristiwa kelam jurnalis mewarnai demokrasi di Negara ini. Contohnya kasus pembunuhan Udin. Ia diduga dibunuh karena berita.
Apakah intervensi datang dari luar saja? Tidak juga. Ada juga intervensi yang lahir dari internal perusahaan. Serdadu media yang bekerja di lapangan kerap mendapat gelombang intervensi secara halus dari pimpinan. Meminta pemberitaan dipending. Alasannya cukup banyak. Ada yang ini dan yang itu. Akhirnya, berita pun tak jadi dimuat karena dianggap akan merugikan ini dan itu.
Intervensi semacam ini akan mengganggu kerja jurnalistik. Bahkan, akan membuat pena jadi tumpul. Pena jadi tak bertinta. Pena pun layu di tengah jalan. (*)