Skip to main content

Peran Mantan Wabup Lobar Didalami



Mantan Wabup Lobar H Mahrip saat diperiksa sebagai saksi di Kejari Mataram terkait kasus dugaan penjualan tanah Kawasan Hutan Negara di Kedaro, Lombok Barat

MATARAM-Setelah memeriksa saksi Nunuk, Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram menemukan indikasi keterlibatan mantan Wakil Bupati Lombok Barat (Lobar), H Mahrip. Sebab, Nunuk selaku pemegang lima sertifikat di Kawasan Hutan Negara Kedaro membeberkan perihal keterlibatan Mahrip.
Kajari Mataram Sang Ketut Mudita melalui Kasipidsus Hendry Antoro tidak menampik H Mahrip berperan dalam pembelian maupun penerbitan sertifikat. Karena, dari keterangan saksi Nunuk, H Mahrip dan tersangka Inda Mahrip yang mengurus semuanya Kita masih dalami seperti apa perannya. Karena, saksi (H Mahrip, Red) disebut berperan dalam kepemilikan tanah di kawasan hutan negara oleh tersangka dan Nunuk, katanya, kemarin.
Semasa menjabat Wabup, Mahrip dan tersangka menawarkan tanah kepada Nunuk. Untuk mendapatkan tanah seluas 6,4 hektar, Nunuk merogoh saku sebesar Rp 304 juta.
Proses pembelian tanah itu diserahkan kepada tersangka dan H Mahrip. Nunuk tinggal terima beres, begitupun dengan sertifikat tanah. Uang untuk pembelian tanah itu dikirim melalui rekening tersangka Inda Mahrip. ”Dalam proses kepemilikan tanah ini, Nunuk tidak tahu menahu soal pembelian, termasuk tanah itu masuk dalam kawasan hutan Negara,” terang Hendry.
Dikatakan, saat menawarkan tanah kepada Nunuk, Mahrip dan tersangka tidak menyebutkan lokasinya bermasalah, apalagi membeberkan jika tanah tersebut masuk kawasan hutan Negara. Mahrip dan tersangka meyakinkan kepada saksi bahwa tanah tersebut lepas dari segala persoalan. ”Dari pengakuan Nunuk, Mahrip yang tawarkan tanah. Untuk proses pembayaran, Nunuk mengirim uang melalui tersangka,” beber dia.
Selain itu, peran Mahrip dalam kasus ini, terungkap pula dalam pembuatan sporadik. Dia meminta kepada mantan Kades Kedaro Mustafa untuk menerbitkan sporadik diatas tanah Negara itu. ”Ada beberapa gambaran tentang peran saksi Mahrip. Dugaan itu terkait terbitnya sertifikat dan sporadik. Itu kami dapat dari pengakuan saksi lain,” tandas Hendry.
Posisi tanah yang dikuasai sertifikat atas nama Inda Mahrip dan Nunuk ini berada didalam kawasan hutan pada KH Pelangan (RTK.7) dengan fungsi HPT. KH Pelangan (RTK.7). Lahan tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan berdasarkan keputusan Resident Van Bali And Lombok nomor: MZ.1/2/2 tanggal 13 Agustus tahun 1937 sebagai hutan titipan negara.
Pada tahun 1981 KH. Pelangan (RTK.7) dilakukan pengukuhan dan tata batas dengan luas difinitif 20.855.70 Ha. Berita acara tata batas tersebut telah ditandatangani oleh panitia tata batas tanggal 12 Mei 1981 dan disahkan oleh Menteri Pertanian Ub. Dirjen Kehutanan tanggal 20 Juli 1981.
Sebelumnya, Penasehat Hukum tersangka, Agus Wahyudi sempat membantah jika tanah tersebut masuk kawasan hutan Negara. Sebab, tanah yang saat ini sudah menjadi milik kliennya dibeli dari warga.
Ia menuturkan, awalnya Inda Mahrip ditawari Kades Kedaro Mustafa untuk membayar tanah. Saat itu, kliennya sempat menolak, namun setelah didesak  akhirnya Inda Mahrip jadi membeli tanah yang ditawarkan itu. ”Klien kami tidak menguasai secara paksa. Tapi membeli dari pemilik tanah,” jelas Agus.
Menurutnya, tanah tersebut dibeli dari , Mustafa, Sami’un, dan Mamiq Safar. Pembayaran tanah tersebut disertai dengan kuitansi yang ditandatangani masing-masing pemilik tanah.
Berdasarkan kuitansi itu, Inda Mahrip membeli tanah dari Mustafa seharga Rp 95 juta. Pembayaran itu dilakukan secara bertahap. Tanggal 23 November  2009, Inda Mahrip membayar Rp 35 juta, tanggal 9 Desember 2009 Rp 10 juta, tanggal 21 Desember 2009 Rp 40 juta, dan tanggal 7 Maret 2010 Rp 10 juta.
Sedangkan, tanah milik Mamiq Safar dibayar seharga Rp 135.500.000. Pembayaran tanah tersebut berlangsung tanggal 3 Januari 2010. Untuk tanah Sami’un, Inda Mahrip membeli seharga Rp 2 juta. ’’Mamiq Safar dibayar dua kali. Pembayaran pertama Rp 125.5000.000, kedua Rp 1 juta,’’ jelasnya.
Tanah yang dibeli kliennya dari tiga warga sekitar 10 hektar. Tersangka membayar tanah tersebut seharga Rp 223.500.000. Setelah membayar tanah, tersangka mengajukan permohonan hak milik atas tanah ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lombok Barat tertanggal 26 Mei 2010.
Permohonan tersebut berdasarkan kuitansi dan sporadik. Atas pengajuan itu, Kepala Kantor BPN Lobar saat itu, Udin Syafrudin menerbitkan SK Nomor: 01/HM/BPN/52.01/2011. SK tersebut diterbitkan tertanggal 6 Januari 2011 tentang pemberian hak milik atas nama Hj Inda Mahrip. Berdasarkan SK tersebut, tersangka mengajukan sertifikat dan diterbitkan tanggal 4 Pebruari 2011. 
Menurutnya, jika memang tanah tersebut dianggap Kawasan HTR, pasti BPN tidak akan menerbitkan sertifikat dan kliennya juga tidak akan membeli tanah itu. ”Kalau itu lahan HTR, BPN akan menolak. Tapi, buktinya BPN mengeluarkan sertifkat,” tegas dia.(tim)

Popular posts from this blog

KAROMBO NIPO, GUA BERSEJARAH YANG TAK TERURUS

Bima . Daerah paling timur Nusa Tenggara Barat. Punya segudang kenangan pada masa penjajahan. Kenangan yang belum bisa dilupakan. Masih terngiang diingatan para pejuang. Salah satunya penjajahan Jepang, atau yang kerap dikenal dengan sebut Nipo (dalam Bahasa Bima). Jepang kali pertama menyandarkan kapal dan masuk Bima 1942. Itu menurut para veteran. Tanggalnya mereka lupa. Yang jelas, tahunnya masih ingat. Romantika-romantika perlawanan juga masih membekas. Dan sulit dilupakan. Bekas-bekas perjuangan mereka belum hilang. Semangat mereka masih terjaga. Sampai sekarang. Dan tidak akan pernah pudar. Karombo Nipo, bukti perjuangan sekaligus bukti betapa kuatnya tangan-tangan pejuang terdahulu. Orang Bima biasa menyebut gua-gua dan bunker. Itu digali pada masa pendudukan Jepang. Karombo Nipo di Bima cukup banyak. Bahkan, hampir setiap wilayah ada Karombo Nipo. Jumlah sekitar ratusan. Ya, ratusan gua. Konon, Karombo Nipo itu sengaja digali. Atas perintah pasukan Jepang. Sebagai l...

Oknum Anggotanya Tepergok Bersama Putri Wali Kota Bima, Ini Kata Kapolres

AKBP Ahmad Nurman Ismail / foto; bimakini.com BIMA- Laporan dugaan perzinahan yang dilayangkan Fita, istri oknum polisi EW sudah diterima Polres Bima Kota. Saat ini, polisi sedang menindaklanjuti dengan meminta keterangan saksi-saksi. Diketahui, putri Wali Kota Bima HM Qurais berinisial SI tepergok sedang berduaan dengan oknum polisi brigadir EW, yang sudah beristri sekitar pukul 11.00 Wita, Minggu (9/4) . Keduanya dipergoki istri oknum polisi, Fita. Kapolres Bima Kota AKBP Ahmad Nurman Ismail mengaku telah menerima dan mengetahui laporan tersebut. Dia menegaskan, laporan itu sedang ditindaklanjuti. ’’Laporan istri oknum polisi itu sudah kami terima. Masih diduga, masih dilakukan pemeriksaan lebih lanjut,’’ kata kapolres dikutip kahaba.net. Dia mengaku, berdasarkan informasi, ada oknum anggota yang main di rumah seseorang dan istrinya datang menhampiri. ’’Akan diperiksa dulu. Nanti juga akan dilakukan penindakan,’’ tegasnya. Dugaan perselingkuhan oknum anggota Polres ...

Korupsi BBGRM Bima, Rusdi Kena Setahun, Hakim Sebut Putarman dan Taufik Punya Andil

Terdakwa H Rusdi mendengar pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor Mataram, Selasa (10/10). MATARAM- Terdakwa kasus korupsi Bulan Bakti Gotong Royong Masyarkat (BBGRM) H Rusdi telah divonis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Selasa (10/10). Mantan Kepala BPMDes Kabupaten Bima itu dijatuhi hukuman 1 tahun penjara. Hakim juga membebankan terdakwa membayar denda Rp 50 juta subsidair 2 bulan penjara. Putusan hakim lebih ringan dibanding tuntutan. Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa 1,5 bulan (1 tahun 6 bulan) penjara. Hakim menyebut terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Perbuatan terdakwa juga memperkaya orang lain dan merugikan keuangan negara. Sementara, pertimbangan hakim yang meringankan terdakwa, diantaranya mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 120 juta dan berlaku sopan selama persidangan. "Terdakwa dinyatakan bersalah dan terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama, maka hakim menjatuhkan h...